Jumat, 16 Juli 2010

Kebijakan Pemerintah Dalam Bail-out Bank Centuri di Tengah Krisis Global Dipandang Dari Perdebatan Akdemik dan Ilmu Administrasi Negara

Belinfante mengartikan Hukum Administrasi Negara sebagai peraturan-peraturan yang berhubungan dengan administrasi yang dapat diartikan pula sebagai pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam arti sempit[1], yaitu fungsi penguasa yang tidak termasuk pembentukan undang-undang (legislatif) dan peradilan (yudikatif).[2] Namun secara berbeda pak X (bc: dosen) dalam kuliahnya memberikan pengertian HAN tidak hanya mempelajari Eksekutif tetapi juga Legislatif dan Yudikatif dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Mahasiswa yang keberatan dengan pandangan ini dipersilahkan mengambil kelas lain, dan Beliau akan membantu dalam proses perpindahannya.

Uraian di atas merupakan debat akademik yang perlu pembahasan panjang dan bertahun-tahun untuk disimpulkan, Sekalipun muncul perdebatan akademik, kelas dapat dijalankan dengan tugas dan kewenangan yang ada di tangan Pak X. pelaksanaan metode ini sangatlah demokratis, Mahasiswa diperbolehkan berkembang dan bebas memilih keyakinan akademiknya, tapi ketertiban tetap tercipta karena Dosen memiliki kewenangan untuk memimpin jalannya aktifitas belajar-mengajar.

Uraian di atas adalah analogi dari keputusan bailout Bank Century. Pemerintah berkeyakinan bahwa gejolak krisis Amerika Serikat berpotensi menerjang perekonomian Negara. Jika tidak diambil keputusan yang tepat dan cepat Negara akan mendapat pengaruh besar. Gejala-gejala potensi terlihat dari kurs rupiah turun dari angka Rp. 9.800 menjadi Rp. 12.000 per dollar, Indeks saham gabungan turun, dan lain-lain.

Pada tanggal 21 November 2008 Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia pada saat itu Prof. DR. Boediono melalui lembaga KSSK[3] menyatakan bahwa Bank Century adalah bank yang dinyatakan “gagal” dan “berdampak sistemik”. Raden Pardede, mantan Sekretaris KSSK menyatakan bahwa dalam kondisi normal, kegagalan Bank Century tidaklah termasuk bank sistemik dan tidak harus diselamatkan. Tapi dalam situasi krisis, bank sekecil apa pun potensial sekali menjadi sistemik[4]. Keputusan itu mempunyai biaya 6,7 Triliun Rupiah.

Situasi di atas menjadi debatable yang bersifat akademik. Pemerintah beranggapan bahwa saat itu terjadi gejala krisis di Indonesia, dan dengan menyelamatkan BC sekalipun sudah “bobrok” sebelumnya, telah mampu menyelamatkan perekonomian Negara. Biaya jika BC tidak diselamatkan diperkirakan Rp6 triliun. Hal di atas tidak termasuk biaya tak langsung yakni biaya kepanikan deposan yang memiliki dana di atas Rp2 miliar yang tak dijamin LPS di 23 bank-bank setara BC. Aksi rush dana sangat mungkin terjadi dan mengakibatkan 23 bank yang akan ikut kolaps. Bila bank-bank itu ambruk, maka LPS mesti mengganti dana nasabah. Sulit memastikan berapa besar biaya yang mesti dikeluarkan kalau skenario menutup BC terjadi. Menyelamatkan BC dengan harga Rp6,76 triliun masih jauh lebih murah daripada pilihan yang lain. Keputusan itu sangat mendesak sehingga tidak memerlukan pendapat DPR dan tidak berakibat kerugian pada Negara.

Sementara DPR beranggapan bahwa saat itu Indonesia baik-baik saja, dan pernyataan krisis hanyalah anggapan psikoligis dari pengambil kebijakan yang ketentuannya tidak ada dalam undang-undang. Mantan wakil Presiden Yusuf Kalla dalam kesaksiannya di sidang Panitia Khusus Angket menegaskan dengan menilai krisis di Amerika Serikat tidak akan melanda Negara ini. Ditambah lagi adanya anggapan bahwa keputusan yang menyangkut keberadaan keuangan Negara harus mendapat “restu” dari DPR. DPR juga menilai keputusan tersebut merugikan Keuangan Negara, dan Pejabat yang berkaitan harus dipersalahkan dan diadili dalam ranah Hukum untuk dibuktikan.

Menurut saya seperti telah saya uraikan dalam analogi “suasana kelas” sebelumnya, debatable akademik bukan suatu solusi tepat apalagi dalam keadaan kritis yang mendesak. Perdebatan ini membutuhkan waktu panjang untuk disimpulakan, sementara pemerintah menganggap penanganannya harus tepat dan cepat. Dalam hal ini saya sependapat dengan tindakan pemerintah, kendati ditemukan beberapa kejanggalan dalam pelaksanaan pemberian modal sementara oleh LPS[5], kebijakan yang didasarkan kewenangan yang sah oleh Sri Mulyani dan Boediono adalah tepat. Keyakinan saya didasarkan atas kewenangan yang dimiliki oleh Sri Mulyani dan Budiono yang merupakan delegasi dari Presiden. Dalam ilmu Administrasi Negara kewenangan semacam ini tidak memerlukan persetujuan Presiden dalam mengambil keputusan karena sudah diatur dalam perundang-undangan[6]. KSSK memiliki kewenangan untuk menentukan krisis atau tidaknya perekonomian Negara.

Pengambilan keputusan tidak perlu mendapat persetujuan DPR. KSSK adalah Administrasi Negara yang masuk dalam kategori bestuurzorg dan memiliki konsekuensi khusus. Kemampuannya dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan kritis ketika peraturan penyelesaianya belum dibuat oleh legeslatif. Dalam hal demikian Administrasi Negara dipaksa bertindak cepat dan tepat tanpa menunggu perintah dari DPR dan tidak dapat diikat oleh peraturan perundangan yang dibuat oleh DPR.[7] Keberadaan Sri mulyani dan Budiono pada jabatannya juga telah diatur secara sah dalam perundang-undangan, Setiap Administrator dituntut memiliki kemampuan/keahlian, tanggung jawab dan kemauan, sehingga ia dapat membuat kebijakan dengan segala resiko baik yang diharapkan (intended risk) atau tidak diharapkan (unintended risk).[8]

Mengenai perdebatan tentang keuangan Negara menurut saya justru keputusan itu bukanlah kerugian melainkan keuntungan. Thomas R. Dye, George C. Edwards III, dan James E. Anderson bersepakat menilai kebijakan pemerintah harus didasarkan pada tujuan. Dan kebijakan itu menyangkut semua tindakan baik melakukan sesuatu atau membiarkan dan tidak melakukan sesuatu apapun.[9] Jika Pemerintah tidak menyelamatkan BC, pemerintah harus mengeluarkan dana 6 triliun rupiah untuk menjamin rekening nasabah yang dijamin LPS (Rp2 miliar per rekening), dan dana tersebut terbuang sia-sia, apalagi kalo ternyata krisis sistemik benar-benar terjadi, perekonomian Negara akan semakin terperosok. Sebaliknya dengan mengeluarkan dana 6,76 triliun untuk menyelamatkan BC, Perekonomian Negara secara jelas terselamatkan. Kedua keputusan tersebut menyangkut keuangan Negara yang sama-sama digunakan untuk menyelamatkan perekonomian Negara.



[1] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa masalah hokum tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal 158-159.

[2] M. Hadjon, Philipus et all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pers, 2008. Hal 3 dan 4.

[3] Komite Sabilitas system Keuangan

[4] Harian Kompas, 14 Desember 2009

[5] Lembaga Penjamin Simpanan

[6] Tjandra Wirawan, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: PT Gramedia Widiasrana Indonesia, 2006. Hal. 21-22

[7] Drs. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 hal 453.

[8] DR.Islamy, M. Irfan, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007. Hal 25.

[9] Ibid, hal 18-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar