Jumat, 16 Juli 2010

CLASS ACTION DALAM PENYELESAIAN MASALAH LINGKUNGAN

Pada tahun 2002 diproduksi suatu film yang bertemakan perjuangan terhadap masalah lingkunan. Film menghasilkan piala Oscar kategori aktris terbaik bagi bintang utamanya yakni Julia Robert. Keberadaan film ini mengangkat suatu kisah nyata seorang pengacara perempuan Amerika Serikat yang bernama Erin Brockovich melakukan gugatan Class Action dalam membela masyarakat yang mengalami kerugian akibat pencemaran lingkungan.

Bermula dari keheranan Erin pada beberapa catatan medis yang anehnya dimasukkan ke dalam file kasus sebuah properti. karena penasaran, maka Erin pun membujuk Masry seorang karyawan perusahaan untuk mengizinkannya menyelidiki keanehan itu. Ternyata ia menemukan kasus properti itu melibatkan sebuah perusahaan raksasa Pacific Gas & Electric Company. Rupanya perusahaan tersebut diam-diam berusaha membeli sebidang area yang terkontaminasi oleh hexavalent chromium, hasil limbah industri beracun dan berbahaya sehingga menyebabkan para penduduk yang mendiami area keracunan. Penyelidikan Erin terhadap kasus pencemaran yang dibantu Masry akhirnya membawa firma hukumnya melakukan salah satu gugatan hukum Class Action terbesar dalam sejarah Amerika yang ditujukan pada perusahaan yang beraset milyaran dolar.

Pengalaman pencemaran lingkungan adalah penyakit yang banyak diderita oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Keberadaan pembangunan yang melulu mengejar keuntungan ekonomis tanpa memperhitungkan akibat atau dampak yang dapat merusak dan merampas hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih. Kasus lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini merupakan contoh sempurna betapa pembangunan yang dilakukan secara sembrono dan sekedar berorientasi keuntungan ekonomis belaka dapat memberikan akibat yang begitu menghancurkan. Persoalan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup tentu saja tidak dapat serta merta diserahkan pada kesadaran masing-masing individu anggota masyarakat maupun kepada badan-badan hukum semata. Instrumen hukum sebagai salah satu strategi pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan, dalam kajian Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Hukum’ harus pula dikembangkan sehingga mampu mewadahi kepentingan masyarakat banyak akan lingkungan yang sehat, nyaman dan bersih.

Melihat kondisi di Amerika yang mampu memenangkan gugatan Erin menjadi inspirasi besar yang dapat dibangun untuk mengubah paradigma perjuangan perlindungan lingkungan di negara ini. Sebelumnya gugatan yang dilakukan terhadap pencemaran lingkungan selalu berupa wacana dan demonstrasi yang tidak efektif. Beberapa gugatan yang disuarakan kurang didengar oleh pemerintah apalagi pengaruh industri yang sangat besar terhadap berbagai bentuk kebijakan pemerintah.

Dengan meningkatnya semangat demokrasi di negara ini peran masyarakat sangat diperhitungkan dan mulai menjadi penentu kebijakan. Dalam berbagai kasus pidana di negeri masyarakat sudah mulai mengambil partisipasi dan berani menentukan pilihan untuk mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan yang sebaik-baiknya. Aparat pemerintah sudah mulai mendengarkan aspirasi masyarakat yang kian menguat belakangan ini sejalan dengan penegakan reformasi di berbagai aspek pemerintahan.Namun perlu dicermati bahwa kerugian masyarakat atas pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang terjadi masa kini tidak hanya dapat diselesaikan dengan teriakan dan ancaman. Perlu dilakukan tindakan hukum yang lebih pasti dan menempatkan suatu persoalan lingkungan pada meja yang tepat sehingga penyelesaianya dapat berkekuatan hukum dan dapat diberlakukan. Seperti Erin memperjuangkan perlindungan lingkungan tidak hanya dengan demonstrasi dan teriakan namun dengan langkah yang tepat dan pasti yakni dengan tindakan hukum berupa gugatan Class Action.

Class Action bisa dipakai sebagai metode penggugatan pada masa kini sebagai seruan masyarakat secara bersama-sama untuk memperjuangkan kerugian masyarakat dan perlindungan terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini juga didukung dengan telah diterbitkannya produk-produk hukum di negara kita yang memungkinkan penggugatan semacam ini. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” sebenarnya telah menunjukkan betapa hukum benar-benar memperhatikan kebutuhan dan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 itu seyogyanya pula memberikan kita pijakan fumdamental dasar bagi gugatan lingkungan di muka peradilan berkenaan dengan mencuatnya kasus-kasus lingkungan saat ini.

Konsep tentang hak atas lingkungan yang baik dan sehat dapat pula kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Pasal 5 ayat (1) UUPLH menyebutkan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Gugatan di muka pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan diwadahi dalam UUPLH No. 23/1997 khususnya pada Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 UUPLH. Secara singkat dapat disebutkan bahwa UUPLH memberikan dua bentuk gugatan terhadap kasus-kasus lingkungan, yaitu Class Action dan Legal standing atau Ius Standi.

Class Action dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud Class Action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Gugatan Class Action dalam sejarahnya pertama kali diadopsi oleh hukum Indonesia melalui UUPLH Nomor 23 tahun 1997. Class Action sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law seperti yang dianut oleh Indonesia. Class Action lebih cenderung diterapkan di negara-negara yang mengadopsi sistem anglo saxon atau comon law.

Namun Pada kenyataannya yang menjadi kasus dalam Pembahasan masalah ini adalah sekalipun UUPLH Class Action telah diadopsi, tetap saja gugatan Class Action selalu menemukan kendala-kendala yuridis. Proses adopsi prosedur Class Action dalam UUPLH ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, mengingat Pasal 39 UUPLH menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering(RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur Class Action. Kendala-kendala yuridis itu sangat mempengaruhi gugatan Class Action terutama sebelum lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Sebelum terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok, dapat disebtkan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatanClass Action di peradilan di Indonesia, antara lain :

a. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok.

Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur Class Action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada anggota kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.

b. Tentang surat gugatan.

Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang menggunakan prosedur Class Action, dalam hal ini tidak mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Di samping itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.

c. Mempersamakan gugatan Class Action dengan gugatan legal standing.

Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan prosedur Class Action adalah identik dengan gugatan atas dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”.

d. Tentang prosedur acara pemeriksaan.

Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan yang menggunakan prosedur Class Action dalam berbagai putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda. Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara, sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan putusan sela.

e. Tentang notifikasi atau pemberitahuan.

Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan perdata melalui prosedur Class Action, mengakibatkan perintah notifikasi atau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas atau suatu keharusan.

f. Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal distribusi ganti kerugian.

Dalam pengajuan gugatan secara Class Action, yang khususnya mengajukan tuntutan ganti rugi berbentuk uang, posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan mekanisme distribusi ganti kerugian. Setelah lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok beberapa kendala yuridis sebagaimana disebutkan di atas relatif dapat diatasi meskipun bukan berarti tidak lagi tersisa kendala yuridis sama sekali.

Kendala yuridis yang masih tersisa misalnya dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian Class Action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari Class Action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.

Kendala lain setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok misalnya juga terlihat pada bagian pemeriksaan dan pembuktian. Dalam hal ini pembuktian secara umum dilakukan menurut hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Meski demikian, PERMA No. 1 Tahun 2002 terkesan cenderung memberikan titik tekan terhadap pemeriksaan kejujuran dan keabsahan keterwakilan Penggugat serta pada pembuktian kesamaan fakta hukum dan kejadian yang menimpa banyak orang. Pengaturan ini cenderung terlihat memberatkan dan membebankan pembuktian pada penggugat. Secara sosiologis masyarakat Indonesia cenderung kurang mahir bermain dengan hukum, sehingga masyarakat sering kali terlihat lemah dalam pembuktian. Karenanya, perlu dilakukan terobosan baru untuk mengatasi kendala pembuktian ini, misalnya pembuktian dilakukan menurut mekanisme pembuktian terbalik dimana tergugat dibebankan pembuktian apakah ia melakukan pencemaran atau tidak. Kendala berikutnya yang menghambat proses gugatan Class Action adalah keseimbangan antara pelestarian lingkungan dengan kepentingan pembangunan khususnya kesiapan investasi di Indonesia.

Gugatan Class Action jika dimenangkan oleh majelis hakim seringkali berakibat pada pailitnya perusahaan yang bersangkutan. Hal ini tentunya memberikan efek buruk bagi iklim ekonomi Indonesia, dalam beberapa kejadian bahkan hingga mendorong pemerintah untuk ikut campur membela kepentingan investor. Kasus Lapindo Brantas bahkan menunjukkan betapa kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian sebuah perusahaan dengan berbagai dalih dapat dialihkan menjadi publik lose yang dipersamakan dengan bencana alam sehingga beban pertangungannya dipikul oleh pemerintah.

.


Daftar Pustaka

Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar Seri Bahan Bacaan Kursus Ham Untuk Pengacara X Tahun 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), tidak diterbitkan, Jakarta, 2005.

Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998.

Peraturan Perundang-undangan UUD 1945.

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

1 komentar:

  1. allo, mas Arie..
    Subhanallah, bagus bgt tulisan yg ini. saya suka.

    BalasHapus