Jumat, 16 Juli 2010

Keterkaitan Negara hukum, system pemerintahan dan system hukum administrasi Negara di Indonesia

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Semula istilah negara hukum dimuat pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dari penegasan ini memberikan kejelasan bahwa Negara kita tidak dilandaskan pada kekuasaan pemerintah semata untuk membentuk dan mengatur Negara, melainkan suatu kesepakatan hukum yang kemudian ditaati dan dijalankan dalam kehidupan bernegara. Asas Negara hukum ini membawa kita pada suatu tatanan sistem pemerintahan yang pokok dan terarah. Dengan mendasarkan pada Negara hukum, Indonesia menjadi suatu Negara konstitusional yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD45.

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.

Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undanag-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.

Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, secara langsung untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.

Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi. Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah neben bukan geordenet dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan.

Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution.

Dengan berlakunya sistem presidensial di Negara ini akan mempengaruhi pula jalannya system hukum administrasi Negara yang mengatur pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pemilihan system ini bertujuan untuk menghindari adanya supremasi atau kelebihan wewenang pada satu macam kekuasaan pemerintahan dan menguasai kekuasaan pemerintahan yang lain. System presidensial memberikan ruang bagi Legeslatif, yudikatif dan eksekutif dalam suatu tingkatan yang sejajar dan saling mengawasi (check and balance).

Namun dalam kenyataan pada dewasa ini system pemerintahan yang dipilih oleh bangsa ini tidak secara tepat dilaksanakan. Banyak sekali sifat-sifat system parlementer yang masih dipraktekan dalam system pemerintahan Negara ini. Hal ini dapat dilihat dari masih eksisnya hak angket yang merupakan produk sistem parlementer. Dengan adanya kekebalan eksekutif dari pengawasan langsung legislative dalam system pemerintahan presidensiil harusnya legislative kehilangan fungsi pengawasan langsung kepada Eksekutif. Adapun jika legislative memandang perlu untuk menindak pelanggaran yang dilakukan oleh eksekutif, legslatif harus melibatkan kekuasaan pemerintah lain yakni yudikatif untuk melakukan tindakan hukum yang dipandang perlu sesuai undang-undang.

Bagaimana Gubernur memperoleh kewenangannya?

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan pengertian pada Pasal 1 ayat (7) bahwa Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan asas Dekonsentrasi berdasarkan Pasal 1 ayat(8)diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi, dan wewenang pemerintah dilimpahkan kepada Gubernur.

Konstruksi perwilayahan yang diatur didalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menempatkan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara Provinsi dengan Kabupaten dan Kota mempunyai keterkaitan dan hubungan hirarkhis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan.

Gubernur dalam hubungannya dalam pemerintahan Provinsi memiliki dua status kepemimpinan. Di satu sisi Gubernur adalah Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat untuk memimpin daerah otonom yang bersangkutan, di sisi lain Gubernur adalah wakil pemerintah di daerah untuk mengurus dan mengatur wilayah administrasi sebagai bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga dalam teori pelimpahan wewenag, Gubernur memperoleh kewenanganya melalui:

a. Atribusi

Dalam teori ini kewenangan gubernur kepala daerah diperoleh dan diberikan berdasarkan undang-undang dan melekat pada jabatannya. Atribusi ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh Gubernur dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang, dan merupakan kewenangan asli atas dasar konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Atribusi juga dikenal sebagai suatu cara normal untuk mendapatkan kewenangan, yang dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Gubernur dalam melaksanakan kewenangan ini dapat menciptakan kewenangan baru untuk membuat peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang bersangkutan.

Gubernur adalah kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, dan sejak secara resmi jabatan ada di tangannya, kewenangannya melekat pada jabatan itu sendiri. Kewenangan atributif Gubernur didasarkan pada Bagian Keempat Undang-undang no 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bagian ini Undang-undang mengatur tentang ketentuan umum, wewenang serta kewajiban, laranga dan juga tentang pemberhentian kepala daerah. Kesemua peraturan di atas melekat pada jabatan Gubernur dan tanggung jawab diemban pada dasar jabatan.

b. Delegasi

Pembahasan ihwal kedudukan dan kewenangan gubernur tidak lepas dari konsepsi pemerintahan secara keseluruhan. Harus dipahami, pemerintah daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara keseluruhan. Sebuah sistem pemerintahan dalam negara hanya akan berfungsi jika sub-subsistem yang ada terintegrasi, saling mendukung, dan tidak berlawanan.

Dalam praktiknya, hampir tidak ada negara di dunia yang semua pemerintahannya diselenggarakan secara sentralistis atau sebaliknya diselenggarakan seluruhnya secara desentralistis. Oleh karena itu, dalam sistem negara federal maupun kesatuan selalu ada perimbangan antara kewenangan yang diselenggarakan secara sentralistis oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang secara desentralistis diselenggarakan unit-unit pemerintahan daerah yang otonom. Hal ini pula yang melahirkan konsep local state government dan local self government. Jika local state government melahirkan wilayah administrasi pemerintah pusat di daerah yang direpresentasikan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan instansi vertikal di daerah, local self government melahirkan daerah atau wilayah otonom yang direpresentasikan keberadaan DPRD dan wilayahnya dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Teritorial dua sistem pemerintahan daerah ini dapat berhimpit (perfektoral terintegrasi) atau tidak berimpit (perfektoral tidak terintegrasi). Dengan demikian dapat dipertegas bahwa Provinsi memiliki kedudukan sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi.

Konsekuensi dari kedudukan di atas, selain sebagai kepala daerah, gubernur juga wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur menjalankan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya. Pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah disebut sebagai dekonsentrasi, dan merupakan pelimpahan wewenang secara delegasi.

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 37 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan sebagai Wakil Pemerintah di wilayah Provinsi yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “wilayah Provinsi” dalam ketentuan ini adalah wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja Gubernur. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintahan, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

c. Mandat

Dalam beberapa keperluan tertentu Gubernur mendapat perintah dari Presiden melalui pelimpahan kewenangan yang bersifat mandat. Mandat adalah suatu pelimpahan kewenangan yang tidak berakibat pada beralihnya tanggung jawab dari pemberi kepada penerima mandat. Ketika Negara sedang melakukan Pemilihan umum, Presiden biasanya memberikan mandate atau intruksi kepada para gubernur untuk melaksanakan, mengamankan dan memastikan pemilihan umum di daerah berjalan lancer. Hal ini merupakan mandat yang mendasari seorang Gubernur untuk memperoleh kewenangan mengatur segala sesuatunya demi tercapainya hal yang dimandatkan. Tanggung jawab tetap pada pemerintah pusat, namun presiden dapat meminta keterangan kepada gubernur atas hasil yang dicapai dalam menjalankan mandate yang telah diberikan.